Gabung dan hasilkan uang dengan memasang iklan di kumpulblogger.com
Share |

Saturday, December 11, 2010

Musik Gamelan Unjuk Kebolehan di Aljazair


Musik Gamelan Unjuk Kebolehan di Aljazair
Kairo (ANTARA News) - Grup musik tradisional gamelan dan rampak gendang pimpinan Yoyon Darsono dari Bandung, Jawa Barat, unjuk kebolehan di depan publik Aljazair.

Pagelaran seni budaya yang dikemas dalam program "Gamelan & Rampak Kendang Workshop" di ibu kota Alger itu dibuka pada Ahad (5/12) dan akan berlangsung hingga 27 Desember , kata Duta Besar (Dubes) RI untuk Aljazair Yuli Mumpuni Widarso yang dihubungi ANTARA Kairo, Rabu.

Pembukaan di aula Institut Musik Nasional Aljazair (Institute National Superieur de Musique de Algerie) di Alger dimeriahkan dengan beberapa pertunjukan lagu tradisional seperti "Gundul-Gundul Pacul" serta permainan musik gamelan dan rampak gendang.

"Begitu lagu "Gundul-Gundul Pacul" dinyanyikan, terdengar tepuk tangan dari hadirin yang umumnya mahasiswa dan dosen Institut Musik Nasional Aljazair," kata Dubes Yuli.

Dubes Yuli dalam sambutannya pada pembukaan menjelaskan tentang keanekaragaman musik tradisional di Indonesia yang berkembang sesuai dengan tradisi dan kesenian masing-masing suku.

"Jika gamelan diperkenalkan ke Indonesia oleh kebudayaan India (Hindu) yang terdapat di beberapa pulau di Indonesia, Rampak Kendang hanya terdapat di Jawa Barat yang merupakan hasil evolusi musik budaya Islam (bedug)," katanya.

Sementara itu Direktur Institut Musik Nasional Aljazair Mme. Bouchtout Karima dalam sambutannya menyampaikan penghargaan kepada KBRI Alger yang berinisiatif menyelenggarakan workshop yang ditunggu-tunggu para mahasiswa dan dosen.

Yoyon Darsono dari Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung mengemukakan bahwa sebagai sesama negara dengan mayoritas penduduk beragama Islam, penyelenggaraan program Workshop ini juga merupakan ajang silaturahmi antara musisi Indonesia dan Aljazair yang sama-sama berlatar belakang budaya Islam, melalui musik.

Menurut Yoyon, pihaknya tersanjung dengan sambutan positif dari mahasiswa dan dosen Istitut Musik Aljazair terhadap program seni budaya ini dan tersentuh oleh pernyataan seorang mahasiswa Aljazair bahwa baru pertama kali ini mendengar alunan nada yang begitu indah dari Indonesia.

Antusiasme dan ketertarikan mereka terpuaskan ketika para mahasiswa dipersilakan naik panggung untuk mencoba memainkan instrumen gamelan dan kendang, ujar Dubes Yuli.

Pada akhir program workshop direncanakan digelar pertunjukan gamelan dan rampak kendang berkolaborasi dengan instrumen musik tradisional Aljazair yang dimainkan oleh para peserta workshop. (*) Antaranews.com
(T.M043/N002/R009)
COPYRIGHT © 2010

Yogyakarta dalam Ancaman Kisruh Pengelolaan Tanah


Yogyakarta dalam Ancaman Kisruh Pengelolaan Tanah
Jakarta (ANTARA News) - Pemerintah Pusat akan mengatur keistimewaan Yogyakarta. Niat pemerintah yang dituangkan dalam sebuah Rancangan Undang-undang (RUU) itu menuai kritik dan penolakan dari sebagian rakyat Yogyakarta.

Polemik keistimewaan Yogyakarta itu berpusat pada kedudukan Sultan Hamengkubuwono X dan penerusnya sebagai gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).

Pemerintah Pusat menginginkan gubernur DIY dipilih langsung melalui pemilihan umum, sedangkan rakyat Yogyakarta ingin Sultan ditetapkan langsung sebagai gubernur.

Perdebatan masih berkutat soal kepemimpinan Yogyakarta. Padahal, jika dicermati lebih dalam, pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk menyikapi polemik itu berisi sejumlah catatan yang akan dicantumkan dalam RUU Keistimewaan Yogyakarta.

Substansi keistimewaan yang dimaksud presiden itu antara lain hal-hal yang berkaitan dengan sisi pemerintahan, terutama posisi gubernur dan wakil gubernur yang pas dan yang khusus bagi Daerah Istimewa Yogyakarta.

Presiden juga menyinggung perlakukan khusus dan peran istimewa bagi pewaris Kesultanan dan Pakualaman secara permanen.

Dan yang tak kalah penting, kepala negara juga menyinggung masalah pengelolaan tanah--kebutuhan dasar dan aset yang sangat berharga bagi sebagian besar rakyat Indonesia, termasuk Yogyakarta.

"Tentang hak ekslusif pengelolaan tanah di Yogyakarta, baik yang menjadi otoritas Kesultanan maupun Pakualaman dan tata ruang khusus pula bagi Daerah Istimewa Yogyakarta," kata presiden.

Sistem khusus
Yogyakarta terkenal dengan sistem khusus pengelolaan tanah. Bahkan, Undang-undang Pokok Agraria seakan tidak kuasa menembus sistem pengelolaan mandiri terhadap tanah keraton atau yang lebih dikenal dengan "Sultan Ground" itu.

Pusat Dokumentasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta menyebutkan, "Sultan Ground" merupakan tanah adat peninggalan leluhur yang dimiliki oleh Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat.

Sultan Hamengkubuwono X menyebut tanah keraton sebagai tanah-tanah raja dan keluarga keraton, situs, magersari, serta tanah garapan kosong.

Tanah keraton terhampar luas di berbagai daerah di Yogyakarta. Kabupaten Bantul, misalnya, mengelola ribuan hektare tanah keraton yang digunakan untuk kesejahteraan rakyat.

Sebagai contoh, Desa Selopamioro, Imogiri, Kabupaten Bantul mengelola tanah keraton seluas 500 hektare. Tanah itu dimanfaatkan sebagai lahan pertanian, penghijauan, tempat ibadah, dan pemakaman. Selain itu, Sekolah Polisi Negara (SPN) juga memanfaatkan tanah keraton seluas 26 hektare untuk kegiatan pendidikan di kawasan itu.

Dokumentasi Dinas Pertanahan DIY pada 2007 mencatat pemanfaatan serupa di Desa Karang Tengah, Imogiri. Tanah keraton seluas 58,5 hektare di kawasan itu dimanfaatkan untuk transmigrasi lokal, kawasan pertanian, dan konservasi tanaman langka.

Tanah keraton di Kabupaten Bantul itu hanya salah satu contoh. Tanah keraton yang lain tersebar hampir di semua kabupaten di Yogyakarta.

Salah satu pemanfaatan tanah keraton adalah untuk tempat tinggal rakyat Yogyakarta dengan status "magersari". Rakyat boleh memanfaatkan tanah, dengan kesadaran penuh bahwa status tanah itu adalah milik keraton.

Penduduk setempat yang menempati tanah itu tidak memiliki sertifikat. Mereka hanya berbekal "Serat Kekancingan" atau surat yang dikeluarkan Keraton tentang penggunaan tanah.

Keraton menugaskan sejumlah abdi dalem yang tergabung dalam satuan khusus pengelolaan tanah bernama "Paniti Kismo". Satuan khusus ini memiliki struktur organisasi yang tertata apik hingga tingkat desa.

"Paniti Kismo" memiliki otoritas mengelola pemanfaatan tanah keraton untuk berbagai kepentingan dan kesejahteraan rakyat Yogyakarta.

Menurut Pusat Dokumentasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, rakyat yang berbekal "Serat Kekancingan" tidak dibebani pembayaran pajak kepada "Paniti Kismo" dan keraton.

Bahkan, rakyat juga tidak perlu menyerahkan "Glondhong Pengarem-arem" atau uang yang diberikan oleh rakyat Yogyakarta kepada keraton sebagai ucapan terima kasih karena boleh menggunakan tanah keraton.

Singkat kata, tanah milik keraton itu digunakan secara gratis oleh rakyat Yogyakarta. Rakyat bisa menempati tanah itu secara turun temurun tanpa beban pajak.

Sikap Sultan
Sri Sultan Hamengkubuwono X belum bersuara lantang tentang niat Pemerintah Pusat untuk mengatur keistimewaan Yogyakarta.

Sultan juga belum menyinggung soal pengelolaan tanah yang disebut oleh Presiden Yudhoyono sebagai salah satu substansi yang akan diatur dalam RUU keistimewaan Yogyakarta. Hingga kini, pemerintah pun belum menjelaskan secara rinci substansi pengelolaan tanah dalam RUU tersebut.

Sebenarnya Pemerintah Pusat dan DPR RI telah membahas RUU keistimewaan Yogyakarta pada 2008. Saat itu sebagian besar fraksi telah menyepakati isi RUU. Fraksi Partai Demokrat adalah satu-satunya fraksi yang tidak setuju, khususnya tentang mekanisme pemilihan gubernur DIY.

Draf RUU yang dibahas pada 2008 juga menyinggung soal pengelolaan tanah. Pasal 9 ayat (1) draf RUU itu menyatakan, Kesultanan sebagai bagian dari Parardhya mempunyai hak milik atas tanah keraton atau "Sultanaat Grond". Pasal yang sama juga menyatakan, Pakualaman mempunyai hak milik atas "Pakualamanaat Grond"

Pengelolaan dan pemanfaatan "Sultanaat Grond" dan "Pakualamanaat Grond" ditujukan untuk sebesar-besarnya kepentingan pengembangan kebudayaan, kepentingan sosial, dan kepentingan publik demi kesejahteraan rakyat.

Sementara itu, pasal 39 draf tersebut mewajibkan Sultan tetap tunduk pada peraturan Pemerintah Pusat dengan mendaftarkan hasil konsolidasi dan klasifikasi tanah kepada Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia.

Sebenarnya, polemik tentang tanah keraton sudah muncul pada 2007, ketika muncul wacana tanah gratis bagi rakyat.

Saat itu Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) X selaku Raja Keraton Kasultanan Yogyakarta mengatakan, tanah milik keraton atau tanah kasultanan tidak mungkin termasuk tanah yang akan diberikan oleh Pemerintah Pusat kepada warga miskin dalam program tanah gratis bagi rakyat.

"Tanah Kasultanan adalah tanah milik keraton, sehingga tidak mungkin tanah ini termasuk yang akan diberikan secara gratis oleh Pemerintah Pusat kepada warga miskin," katanya

Sultan mengatakan, keberadaan tanah milik keraton tidak akan terusik dengan program pemerintah dalam reformasi kebijakan agraria tersebut, karena tanah kasultanan bukan tanah milik pemerintah.

Menurut Sultan, selama ini sebagian dari "Sultan Ground" telah digunakan atau ditempati oleh rakyat, di antaranya untuk mendirikan rumah tinggal, gedung sekolah, dan perkantoran, tetapi tidak bisa mengambil alih hak kepemilikan tanah tersebut.

"Statusnya hanya menempati atau magersari, dan tidak bisa dimiliki," katanya.

Kini, dalam polemik di penghujung 2010, Sultan memilih diam untuk sementara. Dia belum membicarakan berbagai kemungkinan yang timbul akibat perubahan sistem pengelolaan tanah yang (bisa jadi) tidak lagi melibatkan "Paniti Kismo".

Sultan belum menyikapi kemungkinan berkurangnya lahan pertanian, hunian, pusat budaya, dan konservasi tanaman langka karena menjelma menjadi kawasan bisnis akibat perubahan mekanisme pengelolaan tanah.

Sultan belum bicara tentang kemungkinan adanya "uang terimakasih" dari pengusaha kepada pejabat daerah dan pusat yang telah "melonggarkan" aturan pertanahan sehingga para pengusaha bebas masuk dan mengeruk kekayaan di Yogyakarta.

Sultan juga belum bereaksi terhadap kemungkinan pungutan pajak tanah kepada rakyat setelah "Serat Kekancingan" tak berlaku dan rakyat harus tunduk pada hukum agraria nasional.

Bahkan, Raja Yogyakarta itu belum memberikan pernyataan tentang kemungkinan hilangnya martabat keraton karena tak mampu lagi berbagi rasa dengan rakyatnya melalui sistem penataan tanah yang tidak saling membebani.(*) Anataranews.com

F008/Z002
COPYRIGHT © 2010

Ketika Keraton Yogyakarta Menggugat


Ketika Keraton Yogyakarta Menggugat
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (kanan) didampingi Wapres Boediono dan sejumlah menteri KIB memberikan penjelasan soal proses dan substansi RUU Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) di Istana Negara, Jakarta, Kamis (2/12). Presiden SBY mengatakan RUU Keistimewaan DIY yang saat ini sedang dibahas dengan DPR akan memberikan kepastian dan mewadahi keistimewaan Yogyakarta secara utuh dan menyeluruh di dalam Undang-Undang, yang bukan hanya mengatur masalah kedudukan, kekuasaan, masa jabatan, dan cara pengangkatan Gubernur dan Wakil Gubernur DIY tapi juga sisi pemerintah dan posisi yang pas untuk kesultanan dan Paku Alam serta soal pengelolaan tanah, tata ruang, dan pelestarian dan warisan sejarah DIY. (ANTARA/Widodo S. Jusuf)
Jakarta (ANTARA News) - Sultan Agung berang. Raja Kerajaan Mataram itu mengirimkan sedikitnya sepuluh ribu pasukan ke Batavia, sebuah tempat yang sebelumnya bernama Jayakarta.

Tujuan Sultan Agung hanya satu, menggempur kekuatan Belanda serta serikat dagangnya, VOC. Sang Sultan merasa perlu menghardik VOC yang dia anggap mengangkangi Mataram, kerajaan yang dia anggap sebagai pemilik sah tanah Jawa.

Perangpun pecah pada pertengahan 1628. Ribuan pasukan Mataram merangsek ke Batavia di bawah komando sejumlah tumenggung dan adipati kepercayaan sultan.

Pertumpahan darah terjadi di Batavia. Bukan darah pasukan Belanda, melainkan darah ribuan pasukan Mataram yang membasahi tanah.

Kekurangan perbekalan menjadi alasan kekalahan para pengikut Sultan Agung.

Namun, sultan merasa sudah terlanjur kehilangan harga diri akibat ulah VOC. Dia kemudian melakukan serangan kedua, dengan strategi yang lebih matang dan bala tentara yang lebih banyak.

Dia membangun sejumlah lumbung pangan di sekitar Karawang dan Cirebon. Apa daya, VOC lebih cerdik. Serikat dagang bersenjata itu membakar lumbung-lumbung pasukan Mataram, sehingga nasib buruk lagi-lagi membayangi kerajaan itu.

Duka cita Mataram tidak selamanya bermakna kekalahan. Sejumlah literatur mengungkapkan, ribuan pasukan Mataram telah berhasil mengacak-acak sistem sanitasi, irigasi, dan transportasi Belanda yang berhulu di Sungai Ciliwung.

Alhasil, sungai itu tercemar dan wabah kolera melanda Batavia. Gubernus Jenderal saat itu, JP Coen, dan sejumlah petinggi militer Belanda meninggal akibat wabah tersebut.


"Konflik baru"

Hampir 400 tahun setelah konfrontasi Mataram-Batavia, ketegangan baru muncul di penghujung 2010 meski bukan dalam bentuk kontak fisik. Poros Yogyakarta-Jakarta kembali memanas setelah pemerintah pusat berniat mengatur keistimewaan Yogyakarta. Pengaturan ini, menurut sejumlah pihak, akan mengurangi wibawa Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat.

Ketegangan era baru ini muncul dalam bentuk sejumlah aksi unjuk rasa ribuan rakyat Yogyakarta. Mereka menolak usul pemerintah pusat tentang pemilihan gubernur melalui pemilu.

Rakyat Yogyakarta merasa keistimewaan daerah itu terletak pada mekanisme penetapan Sultan dan penggantinya secara otomatis sebagai gubernur DIY.

Akhir-akhir ini, perlawanan bukan hanya muncul dikalangan rakyat. Keraton juga mulai menggugat.

Gusti Bendoro Pangeran Haryo Prabukusumo adik Sri Sultan Hamengkubuwono X, secara resmi menyatakan mengundurkan diri dari jabatan Ketua DPD Partai Demokrat Daerah Istimewa Yogyakarta sekaligus keluar dari keanggotaan partai tersebut.

"Alasan pengunduran diri saya ini karena ada perbedaan pemahaman tentang Rancangan Undang-undang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta, antara sikap politik saya dengan kebijakan DPP Partai Demokrat," kata Gusti Bendoro Pangeran Haryo (GBPH) Prabukusumo.

Prabukusumo merasa partai yang selama ini dia bela telah mengusik harga diri dan martabat garis keturunan raja Yogyakarta. Ayahnya, Sri Sultan Hamengkubuwono IX, telah merelakan diri untuk bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Penguasa republik saat itu, menyetujui keistimewaan Yogyakarta yang salah satunya ditandai dengan penetapan Sultan sebagai gubernur.

"Saya harus menjaga harga diri almarhum ayahanda dan Sri Paduka Paku Alam VIII, sebagaimana yang tertuang dalam Amanat 5 September 1945," katanya.

Menurut dia, pernyataan ayahnya untuk bergabung dengan NKRI dengan jabatan gubernur adalah bentuk pengorbanan yang luar biasa. Ayahnya yang sebelumnya adalah raja sebuah negara merdeka bernama Ngayogyakarta Hadiningrat, mau merendahkan diri, bergabung, dan membela kedaulatan republik.

"Dengan jadi gubernur dan wakil gubernur, yang tadinya kekuasaan penuh menjadi terbatas, karena harus taat pada UUD 1945, Kepres dan undang-undang lainnya. Ini merupakan pengorbanan harga diri, apa iya sekarang masih mau dipotong lagi," katanya.

Prabukusumo juga menyatakan sakit hati atas pernyataan seorang kader Partai Demokrat ketika menyinggung keistimewaan Yogyakarta dan kerabat keraton.


"Perebutan wilayah"

Kembali ke tahun 1682. Pemerhati kebudayaan dan sejarah Jawa dari Monash University, M.C. Ricklefs menyatakan, konfrontasi Mataram-Batavia berawal dari kemarahan Sultan Agung yang menganggap VOC berbuat lancang.

Sultan Agung menganggap VOC melanggar peringatan dengan mengganggu ketenteraman Pulau Jawa melalui sebuah aksi pencaplokan Batavia.

Sang Sultan sebenarnya sudah menawarkan kerjasama dengan VOC, terutama untuk menjadikan Surabaya sebagai musuh bersama. Namun, VOC menolak.

Watak keras dan politik ekspansi berwajah peperangan yang menjadi ciri khas Sultan Agung kembali muncul. Dia menyatakan perang terhadap Batavia.

Berbicara soal wilayah kekuasaan akan menyingung soal tanah dan pengelolaannya. Hal itu pula yang dinyatakan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam pidato menyikapi polemik keistimewaan Yogyakarta.

Saat itu, kepala negara menyinggung masalah pengelolaan tanah sebagai salah satu unsur keistimewaan yang akan diatur dalam Rancangan Undang-undang Keisimewaan.

"Tentang hak ekslusif pengelolaan tanah di Yogyakarta, baik yang menjadi otoritas Kesultanan maupun Pakualaman dan tata ruang khusus pula bagi Daerah Istimewa Yogyakarta," kata presiden.

Selama ini, Kasultanan Yogyakarta telah menerapkan sistem pengelolaan tanah keraton secara mandiri.

Tanah keraton yang dikenal dengan "Sultan Ground" itu merupakan tanah adat peninggalan leluhur yang dimiliki oleh Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat.

Tanah keraton kini dimanfaatkan untuk kesejahteraan rakyat dalam bentuk areal pertanian, penghijauan, konservasi tanaman langka, dan pusat budaya.

Salah satu pemanfaatan tanah keraton adalah untuk tempat tinggal rakyat Yogyakarta dengan status "magersari". Rakyat boleh memanfaatkan tanah, dengan kesadaran penuh bahwa status tanah itu adalah milik keraton.

Penduduk setempat yang menempati tanah itu tidak memiliki sertifikat. Mereka hanya berbekal "Serat Kekancingan" atau surat yang dikeluarkan Keraton tentang penggunaan tanah.

Keraton menugaskan sejumlah abdi dalem yang tergabung dalam satuan khusus pengelolaan tanah bernama "Paniti Kismo". Satuan khusus ini memiliki struktur organisasi yang tertata apik hingga tingkat desa.

"Paniti Kismo" memiliki otoritas mengelola pemanfaatan tanah keraton untuk berbagai kepentingan dan kesejahteraan rakyat Yogyakarta.

Menurut Pusat Dokumentasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, rakyat yang berbekal "Serat Kekancingan" tidak dibebani pembayaran pajak kepada "Paniti Kismo" dan keraton.

Bahkan, rakyat juga tidak perlu menyerahkan "Glondhong Pengarem-arem" atau uang yang diberikan oleh rakyat Yogyakarta kepada keraton sebagai ucapan terima kasih karena boleh menggunakan tanah keraton.

Singkat kata, tanah milik keraton itu digunakan secara gratis oleh rakyat Yogyakarta. Rakyat bisa menempati tanah itu secara turun temurun tanpa beban pajak.

Sampai saat ini, keraton melalui Prabukusumo baru menggugat soal niat pemerintah mengubah mekanisme penetapan Sultan sebagai gubernur DIY.

Keraton belum menggugat kemungkinan berkurangnya lahan pertanian, hunian, pusat budaya, dan konservasi tanaman langka karena menjelma menjadi kawasan bisnis akibat perubahan mekanisme pengelolaan tanah.

Kawasan bisnis itu tentu akan menjadi pusat kekuasaan modal baru yang mendatangkan keuntungan bagi pihak tertentu.

Kasultanan Yogyakarta juga belum menggugat kemungkinan hilangnya martabat keraton karena tak mampu lagi berbagi rasa dengan rakyatnya melalui sistem penataan tanah yang tidak saling membebani.(F008/K004)
COPYRIGHT © 2010--Anataranews.com

Kata Monarki Yang Kontroversial Itu


Kata Monarki Yang Kontroversial Itu
Keraton Yogyakarta (ist)
Jakarta (ANTARA News) - Pekan awal di bulan penghujung tahun ini seperti menjadi Pekan Kemarahan. Orang marah-marah secara serentak di mana-mana. Bahkan hampir tak ada ruang yang terbebas dari orang marah. Di jalan, di warung, kafe hingga di kantor-kantor yang dihuni orang-orang terdidik.

Celakanya, sasaran kemarahan mereka tertuju pada satu orang, yakni orang yang telah berani-beraninya menyebut kata "monarki" yang membuat alergi warga Yogya.

Kata monarki meluncur dari penjelasan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengenai Rancangan Undang-Undang Keistimewaan (RUUK) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).

Dalam pengantar sidang kabinet pada 26 November yang membahas RUUK DIY, presiden memaparkan model tata pemerintahan daerah Yogya yang formulanya tengah dirancang.

SBY menghendaki adanya suatu pranata yang menghadirkan sistem nasional NKRI, keistimewaan DIY yang harus dihormati dan dijunjung tinggi, serta nilai-nilai demokrasi dalam RUU tentang Keistimewaan DIY.

Lalu, kata-kata yang kontroversial itu menyusul.

"Nilai-nilai demokrasi tidak boleh diabaikan. Oleh karena itu, tidak boleh ada sistem monarki yang bertabrakan dengan konstitusi maupun nilai-nilai demokrasi," kata Presiden.

Dari sinilah petaka itu berawal. Bak bara tersiram bensin, amarah itu berkobar, menjalar ke segala arah. Dari Jakarta merebak ke Yogya. Dari Sultan menular ke para kawula. Dari media, pengamat sampai orang yang tidak memiliki kepentingan (langsung) pun turut menyemarakkan pesta kemarahan kolosal ini.

Kegaduhan ini kian gemuruh oleh pemberitaan media yang mebombardir ruang layar kaca, halaman koran dan monitor laman-laman berita. Semua jenis berita disajikan, dari berita selintas, analisa hingga talkshow siaran langsung.

Segala macam pengamat dihadirkan, untuk mengurai kata "monarki" dari berbagai sudut dan cara pandang. Kajian bahasa, analisa politik juga aneka komentar.

Kata "monarki" semakin naik daun, jadi buah (banyak) bibir dan bahan pergunjingan yang meruncing.

Untuk jadi penonton saja rasanya memusingkan kepala, laksana iklan obat sakit kepala yang melingkar-lingkar berputar itu. Apakah harus sedemikian gegap-gempita untuk membahasnya? Hingga harus mengerahkan seluruh tenaga dengan bambu runcing untuk meresponnya.

Perlukah menggelontorkan segala caci-maki untuk menanggapi dan menumpahkan sumpah-serapah untuk mengumbar amarah?

Galeri Reaksi
Di sini hanya tersedia ruang untuk menampung reaksi yang berasal dari pihak-pihak pemangku kepentingan atas RUUK DIY (saja). Sedangkan media yang disesaki provokator hanya bisa membakar suasana tanpa iktikad meredam setelahnya.

Maka, reaksi pertama yang wajib dikemukakan adalah yang berasal dari Sri Sultan Hamengku Buwono X. Ngarso Dalem merupakan pihak yang merasa terkena sasaran tembak oleh kata "monarki" itu. Meski berbalut gaya kelembutan, tapi kata-kata raja Yogya ini menyiratkan ketersinggungan yang amat.

"Kalau sekiranya saya dianggap pemerintah pusat menghambat proses penataan DIY, jabatan gubernur yang ada pada saya ini akan saya pertimbangkan kembali," ujar Sinuhun.

Sayangnya, Sultan tidak berkenan memperjelas pernyataanya. Malah, ia mempersilakan publik menafsirkan sendiri.

Ketika media menanyakan pada Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi mengenai hal ini, ia menilai telah terjadi misintepretasi.

"Saya kira Presiden menyatakan kita harus memperhatikan beberapa aspek. Beliau mengatakan ada monarki, ada nilai demokrasi, dan ada juga nilai-nilai konstitusi yang harus dipertimbangkan secara keseluruhan pada perumusan undang-undang baru ini. Nah, apa yang salah dari situ?" kata dia.

Terhadap kata "monarki" Gamawan memandang penafsiran kata ini diperbesar, tanpa melihat nilai demokrasi dan konstitusi yang disebut bersamaan rangkaian kata dalam kalimat tersebut. Ini merupakan satu kesatuan yang menurutnya harus dipertimbangkan secara utuh.

"Hanya saja, orang melihat, kenapa Presiden menyebut monarki. Padahal bukan sekadar itu. Presiden menyebut secara utuh akan mempertimbangkan aspek monarki, aspek konstitusi, dan nilai demokrasi," bela Mendagri.

Namun, Wakil Ketua DPR RI Pramono Anung berpendapat, pernyataan terbuka Presiden Susilo Bambang Yudhoyono soal monarki dalam konteks Kesultanan Yogyakarta sangat serius. Bagi dia, keistimewaan Yogyakarta tidak boleh diganggu gugat.

Bagaimanapun, kata Pram, kesepakatan antara Bung Karno dan Sultan Hamengkubuwono IX yang tertuang dalam Maklumat 5 September 1945 merupakan bagian dari sejarah.

Tetapi bila pernyataan kontroversial SBY berujung tuntutan referendum oleh rakyat Yogya, Pram tidak mendukungnya. Referendum, ia khawatirkan akan mengganggu bingkai NKRI.

Maka, politisi PDIP ini mendorong pemerintah untuk menyudahi polemik monarki agar tidak terjadi disinformasi kelewat jauh.

Menjawab kehendak banyak pihak, presiden pun memberi klarifikasi sepekan kemudian. Di hadapan media dan seluruh menteri anggota Kabinet Indonesia Bersatu II yang diundangnya di Istana Negara, SBY menyampaikan pembelaannya.

Tapi ia berupaya menenangkan suasana tidak dengan kata "maaf" seperti yang diinginkan para kawula Yogya. Malah, kata "monarki" yang menimbulkan alergi itu diucapkannya lagi. Tanpa ragu-ragu ia eja kata-demi kata seraya mengharap publik mendengar dengan cermat dan lalu memperoleh pemahaman sejalan dengan yang ia pikir dan maksudkan.

Pada bagian lain, Presiden juga meminta agar persoalan ini tidak digeser-geser ke ranah poltik dan direduksi hanya pada masalah penetapan kepala daerah.

Kemarahan masyarakat Yogya memang mereda tapi tetap saja meninggalkan ganjalan. Pertama karena kata "monarki" terlanjur terucap. Kedua, tidak ada kata maaf untuk menyabutnya.

Dan pertanyaan yang muncul kemudian, apakah kalau presiden meminta maaf lantas selesai perkara? Apa tidak justru meneguhkan bahwa ia mempunyai maksud buruk atas pengucapan kata itu? Sebab, sebuah kata tidak bisa diartikan secara mandiri dan harfiah begitu saja. Ada konteks kalimat dan semangat serta suasana kebatinan yang melingkupi sebuah kata terungkap.

Mendata Kesalahan SBY
Walau bagaimanapun kecerobohan SBY melontarkan kata "monarki" adalah salah. Salah waktu, salah tempat dan salah strategi.

Salah waktu karena masyarakat Yogyakarta baru saja dilanda bencana letusan gunung Merapi yang belum usai melewati tahap rehabilitasi. Juga salah waktu, sebab rancangan undang-undang ini sudah lama tertunda-tunda.

Bahkan kegagalan DPR periode 2004-2009 mengesahkan RUUK ini terhalang oleh Fraksi Demokrat, partai yang dilahirkan dan dibina SBY. Dari tujuh hal terkait keistimewaan Yogyakarta, enam di antaranya sudah disepakati dan hanya menyisakan soal mekanisme pemilihan kepala daerah yang belum disepakati.

Jadi, bagaimana mungkin SBY meminta publik untuk tidak mereduksi persoalan keistimewaan Yogya hanya pada tataran suksesi gubernur.

Memang tinggal masalah itu yang menggantung selama sewindu sejak konsep RUUK berada di tangan pemerintah. Mereka sudah jengah menanti usainya pembahasan RUUK ini dan lalu disulut dengan kata "monarki".

Salah tempat, tidak seharusnya SBY yang bergelar doktor itu menyebut kata "monarki" menyangkut keistimewaan Yogya. Padahal biasanya ia paling bisa menempatkan diri, dengan siapa berhadapan dan kata apa yang pantang diucapkan.

Presiden mestinya sangat mafhum bagaimana kawula Yogya telah lama nyaman hidup dalam model pemerintahan kerajaan. Pengabdian adalah hal terluhur yang mereka punya dan lakukan terhadap baginda raja terpuja.

Dan jangan ada yang mengusik hukum kekekalan raja, maka mala petaka akan tiba. Dan benar saja, SBY tersandung kata "monarki" yang lantas memanen cercaan seketika.

Salah strategi, karena sidang kabinet itu terbagi dalam dua sesi. Pada sesi pengantar bersifat terbuka dan diliput media. Lalu break dan dilanjutkan sidang tertutup dengan bahasan yang lebih mendalam. Dan sewaktu sidang kabinet tentang RUUK DIY, kenapa presiden melempar kata yang sensitif itu pada sesi pengantar yang dikonsumsi media?

Jika ia seorang penjaga citra, seyogyanya hanya memilih kata-kata yang aman saja demi terkesan baik.

Telaah RUUK DIY
Sungguh, media tidak dalam kapasitas dan posisi membela presiden, sultan atau siapapun. Dan sangat disayangkan jika, massa telah mengerahkan amarah akibat terluka oleh persepsi sendiri. Adalah sesuatu yang sia-sia, bukan?

Maka, untuk lebih obyektif mengkritisi, intip saja poin-poin penting yang terkandung dalam konsep RUUK tersebut.

RUUK ini hendak memisahkan antara kekuasaan Raja di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat dengan Gubernur Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta selaku Kepala Daerah.

Karena keduanya memiliki karakteristik kepemimpinan yang bertolak belakang. Raja memiliki kedudukan kultural tertinggi di wilayah Yogyakarta yang karena kedudukannya itu ia dilayani oleh rakyat. Sedangkan Gubernur adalah penyelenggara pemerintahan daerah. Untuk memenuhi syarat demokrasi, jabatan ini dipilih oleh rakyat. Dan karena rakyat yang memiliki daulat maka seorang kepala daerah berkewajiban melayani rakyat.

Jika kedua jabatan ini dirangkap oleh sultan, tentulah terjadi kerancuan peran. Kalau saja masyarakat Yogyakarta memahami konsep melayani dan dilayani dari kedua jabatan tersebut, apakah masih rela rajanya "direndahkan" dengan menjadi gubernur?

Setelah memisahkan kedua jabatan ini masih dari konsep RUUK Sri Sultan HBX bersama dengan Adipati Paku Alam IX selanjutnya tetap diletakkan sebagai orang nomor satu dan dua di wilayah DIY dengan sebutan Pengageng.

Hal ini termaktub dalam pasal 11: "Pemerintahan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta terdiri atas Pengageng, Pemerintah Daerah Provinsi, dan DPRD Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta."

Pengageng di sini bukan simbol semata, tapi mereka berdua dilengkapi dengan hak veto. Pasal 13 dari RUUK ini memberikan kewenangan bagi Pengageng untuk memberikan persetujuan atau penolakan terhadap rancangan Perdais yang telah disetujui bersama oleh DPRD Provinsi DIY dan Gubernur.

Hak veto juga untuk persetujuan atau penolakan terhadap perorangan bakal calon atau bakal-bakal calon Gubernur dan/atau Wakil Gubernur, bahkan yang dinyatakan telah memenuhi syarat kesehatan dan administratif oleh KPU Provinsi DIY.

Lalu Pengageng berhak pula memberikan saran dan pertimbangan terhadap rencana perjanjian kerja sama yang dibuat oleh Pemerintah Daerah Provinsi dengan pihak ketiga yang membebani masyarakat.

Tak hanya itu, pasal 18 memberikan kekebalan hukum bagi Pengageng. Berdua memperoleh pengawalan protokoler setingkat menteri. Seluruh informasi mengenai kebijakan dan/atau informasi yang diperlukan untuk perumusan kebijakan juga berhak ia peroleh. Mereka pun dapat mengusulkan pemberhentian Gubernur dan/atau Wakil Gubernur.

Sedangkan satu-satunya larangan yang disyaratkan pasal 20 RUUK DIY ini adalah Pengageng tidak diperkenankan menjadi pengurus dan anggota partai politik.

Setelah menilik segala keistimewaan yang dilimpahkan RUUK terhadap Pengageng, ada yang masih keberatan?

ANT/T010 Antaranews.com
COPYRIGHT © 2010

Air Bersih Tetap Mengalir di Lereng Merapi


Air Bersih Tetap Mengalir di Lereng Merapi
(ANTARA/Rezza Estily)
Sleman (ANTARA News) - Kondisi sumber air bersih di lereng Gunung Merapi di Desa Umbulharjo, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman aman meskipun hampir semua pipa penyaluran air rusak terkena material erupsi Merapi.

"Ada dua sumber air besar di lereng Merapi ini yakni umbul wadon dan umbul lanang yang semuanya berada di hulu Sungai Kuning, kedua sumber air tersebut saat ini masih aman dan tidak tertimbun material lahar Merapi," kata Kepala Dinas Sumber Daya Air, Energi dan Mineral, Sleman, Widi Sutikno, Minggu.

Dua mata air ini berfungsi sebagai sebagai sumber air bersih untuk masyarakat Kabupaten Sleman dan Kota Yogyakarta.

"Selain juga untuk kebutuhan irigasi pertanian di Sleman bagian Utara. Untunglah dua mata air ini tidak hilang akibat erupsi Merapi," katanya.

Ia mengatakan, debit air yang dihasilkan umbul lanang bahkan meningkat menjadi sekitar 400 liter per detik dari sebelum erupsi Gunung Merapi yang hanya 15 liter per detik.

"Sedangkan mata air umbul wadon karena agak tertimbun material Merapi, debit airnya sepertinya berkurang. Sebelum erupsi Merapi, debit air umbul wadon bisa mencapai 350 hingga 400 liter per detik," katanya.

Widi berjanji akan segera memperbaiki umbul wadon setelah situasi memungkinkan.

"Saat ini masih sangat berbahaya karena kontur tanah masih labil dan bisa longsor bila diterjang hujan. Sedang material Merapi juga bisa turun tiba-tiba bila hujan deras terjadi di puncak," katanya.

Ia mengatakan umbul wadon dan umbul lanang sangat vital bagi Kabupaten Sleman.

"Dua mata air ini menjadi sumber air utama bagi PDAM Argo Jasa yang melayani kebutuhan air untuk kawasan Kaliurang, PDAM Tirta Marta milik Pemkot Yogyakarta dan PDAM Tirta Dharma milik Pemkab Sleman, serta satu jaringan pipa milik masyarakat lereng Merapi," katanya.(*)

ANT/AR09 Antaranews.com
COPYRIGHT © 2010

Masyarakat Banyuraden Sleman Gelar Upacara Adat "Mbah Demang"


Sleman (ANTARA News) - Masyarakat Desa Banyuraden, Kecamatan Gamping, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, akan menggelar upacara adat Suran Mbah Demang.

"Upacara adat yang menjadi kegiatan rutin masyarakat sejak beberapa puluh tahun ini dilaksanakan setiap bulan `Sura` (kalender Jawa) pada tanggal 7 atau tepatnya saat tengah malam tanggal 8 `Sura`, yang tahun ini jatuh pada Senin 13 Desember 2010," kata Ketua Panitia Upacara Adat "Mbah Demang" Rahmat Fitri, Sabtu.

Menurut dia, pelaksasnaan upacara adat Suran Mbah Demang kali ini sekaligus untuk merayakan hari jadi ke-54 Desa Banyuraden.

"Rangkaian upacara adat meliputi pasar malam, kirab budaya, kenduri wilujengan dan pertunjukan wayang," katanya.

Pasar malam akan berlangsung hingga 18 Desember di kawasan pasar Telagareja, sedangkan kirab budaya akan dilangsungkan pada Senin 13 Desember 2010 pukul 19.00 WIB dengan start di Balai Desa Banyuraden menuju "Tabon Mbah Demang" dan kembali lagi ke Balai Desa Banyuraden.

"Kirab budaya tersebut didukung delapan kontingen dari delapan dusun se Desa Banyuraden Gamping yang dikemas oleh Sanggar Widya Permana," katanya.

Ia mengatakan, kedelapan kontingen tersebut adalah kontingen "thek band" dari Dusun Geplakan, "pekbung" dari Dukuhan, kesenian tradisional jathilan dari tiga dusun yaitu Somodaran, Turusan dan Sukunan.

"Selain itu juga Bregada (pasukan tradisional) Prajurit Bremarageni dari Dowangan, Tarian Topeng dari Kradenan dan prajurit kasepuhan dari Cokrowijayan," katanya.

Fitri mengatakan, dalam prosesi kirab di "Tabon Mbah Demang" atau lokasi sumur bersejarah dilakukan "lung tinampen" atau serah terima pusaka, kendi ijo dan dua gunungan wuluwetu (hasil bumi) dari Ki Murdo Puspito selaku pimpinan kirab kepada Trah Mbah Demang yang diwakili Abdul Kadir untuk selanjutnya dibagikan untuk para pengunjung.

"Usai kirab dilaksanakan `kenduri wilujengan` dilanjutkan dengan pertunjukan wayang semalam suntuk, sementara itu di rumah `Tabon Mbah Demang` disajikan kesenian tradisional Sholawatan dilanjutkan mandi ritual jamas atau srokal yang diikuti keluarga Trah Mbah Demang mulai pukul 00.00 WIB tengah malam," katanya.

Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Sleman Untoro Budiharjo mengatakan bahwa upacara adat "Suran Mbah Demang" merupakan agenda tetap yang masuk dalam "calendar event" kepariwisataan di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan budayanya telah mengakar di kalangan masyarakat Banyuraden.

"Kami bersyukur meskipun di tengah keprihatinan terhadap bencana alam erupsi Gunung Merapi agenda-agenda budaya dan pariwisata masih tetap berlangsung meskipun dengan kemasan yang lebih sederhana.

Meskipun demikian diharapkan agenda-agenda tersebut akan terus memberikan semangat dan motivasi untuk menggairahkan kepariwisataan di DIY dan Sleman pada khususnya," katanya.

Ia mengatakan, hal ini akan menunjukkan kepada wisatawan dan masyarakat luar daerah bahwa DIY memang tidak akan dapat lepas dari kepariwisataan yang bernafaskan budaya lokal yang unik dan memesona.

"Kepariwisataan bernafaskan lokal ini tetap layak untuk dijadikan objek kunjungan yang aman dan nyaman bagi wisatawan baik domestik maupun mancanegara," katanya. (V001/K004) Antaranews.com
COPYRIGHT © 2010

Wilayah Perbatasan Kulon Progo Rawan Peredaran Narkoba


Wilayah Perbatasan Kulon Progo Rawan Peredaran Narkoba
Petugas menunjukkan barang bukti saat jumpa pers pengungkapan jaringan narkoba (ANTARA/Fanny Octavianus)
Kulon Progo (ANTARA News) - Satuan Narkoba Kepolisian Resor Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta, menyatakan wilayah perbatasan kabupaten ini rawan peredaran narkoba karena menjadi pintu masuk barang terlarang itu.

Kepala Satuan Narkoba Kepolisian Resor (Polres) Kulon Progo AKP Sumino, di Wates, Jumat, menyebutkan kecamatan yang wilayahnya paling rawan dijadikan pintu masuk narkoba adalah Kalibawang, Nanggulan, Galur, Temon dan Sentolo.

"Biasanya pengedar narkoba di Kulon Progo berasal dari luar daerah. Oleh karena itu, kami melakukan pemantaun di wilayah perbatasan terutama di kecamatan yang paling rawan dijadikan pintu masuk narkoba dari luar daerah," katanya.

Untuk itu, kata dia, jajarannya dalam melakukan pencegahan serta antisipasi kemungkinan masuknya narkoba ke Kulon Progo, menjalin kerja sama dengan Badan Narkoba Kabupaten, Badan Narkoba Nasional, Dinas Kesehatan, dan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP). "Kerja sama tersebut dijalin dalam melakukan sosialisasi tentang bahaya narkoba, serta pencegahan dan penanganannya," katanya.

Pihaknya juga berkoordinasi dengan berbagai instansi terkait dalam melakukan operasi narkoba. "Operasi dilakukan secara rutin, dan target lokasi operasi di antaranya Alun-alun Wates," katanya.

Ia mengatakan dalam penanganan terhadap pecandu narkoba di Kulon Progo, pihaknya memberikan rekomendasi untuk dilakukan rehabilitasi dan diizinkan menggunakan narkoba sesuai dengan resep dokter, serta dalam pengawasan rumah sakit yang bersangkutan.

"Selain memberikan rekomendasi untuk dilakukan rehabilitasi, bagi pecandu berat dan butuh penanganan, yang bersangkutan dikirim ke Rumah Sakit Gracia atau Permadisiwi," katanya.

Di rumah sakit tersebut, kata dia para pecandu narkoba ditangani lebih lanjut dan secara khusus, sehingga tidak kecanduan lagi.

Sementara itu, salah seorang petugas dari Dinas Kesehatan Kulon Progo Paryanto mengatakan pencegahan dan penanganan masalah narkoba menjadi tanggung jawab semua pihak, baik masyarakat, kepolisian serta pemerintah. "Masalah narkoba adalah masalah bersama, dan masyarakat pun bertanggung jawab ikut mencegah peredaran narkoba," katanya. (ANT-159/K004) Antaranews.com
COPYRIGHT © 2010

Jembatan Sungai Putih Retak Diterjang Lahar Dingin


Magelang (ANTARA News) - Jembatan Sungai Putih di jalur utama Magelang-Yogyakarta di Desa Jumoyo, Kecamatan Salam retak akibat diterjang banjir lahar dingin pada Rabu (8/12).

Seorang relawan, Ahadi, di Magelang, Jumat, mengatakan akibat terjangan banjir lahar dingin yang cukup besar pada Rabu sore terjadi keretakan di sisi utara jembatan tersebut.

"Jembatan tersebut retak sepanjang 10 meter dengan lebar satu sentimeter," katanya.

Seperti diketahui banjir lahar besar telah terjadi di Sungai Putih pada Rabu sore hingga meluap ke jalan raya sehingga jalur tersebut ditutup untuk semua jenis kendaraan hingga Kamis dini hari.

Ia mengatakan, retakan tersebut diketahui pada Kamis (9/10) setelah material lahar dingin berupa pasir dan batu di atas jembatan dan sekitarnya berhasil dibersihkan.

Dirjen Bina Marga Kementrian Pekerjaan Umum Djoko Muryanto saat meninjau jembatan tersebut, mengatakan, sementara ini jembatan tersebut masih bisa dilalui kendaraan.

"Kami akan memantau terus tingkat kerusakan Jembatan Sungai Putih tersebut," katanya.

Di wilayah Kabupaten Magelang terdapat lima jembatan di jalan nasional yang dilalui aliran sungai berhulu di Gunung Merapi, yakni Jembatan Pabelan, Jembatan Blongkeng, Jembatan Sungai Putih, Jembatan Sungai Batang, dan Jembatan Sungai Krasak yang berbatasan dengan Yogyakarta.  (ANT/K004) Antaranews.com
COPYRIGHT © 2010

Ratusan Hektare Lahan, Tambak Dan Belasan Rumah Terendam Banjir


Rembang (ANTARA News) - Ratusan hektare lahan pertanian dan tambak serta belasan rumah warga Desa Sendangasri, Kecamatan Lasem, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, Jumat petang, diterjang banjir setinggi 40 centimeter atau setinggi lutut orang dewasa.

Banjir luapan sungai Sendangasri tersebut juga meluberi jalan Jalur Pantura. Akibatnya, kendaraan bermotor roda empat harus berjalan hati-hati sepanjang lebih dari satu kilometer.

Salah seorang warga Desa Sendangasri, Lestari, mengatakan, air mulai meninggi dan merendam belasan rumah penduduk mulai pukul 16.00 WIB.

Selain merendam belasan rumah, banjir juga melanda bangunan SMP Negeri 2 dan SMP NU Lasem.

Sekretaris Satuan Pelaksana Penanggulangan Bencana Alam Kabupaten Rembang Suharso mengatakan, pihaknya langsung meninjau lokasi usai mendapatkan informasi dari warga setempat.

"Banjir bandang kali ini merupakan buntut dari hujan deras yang mengguyur daerah setempat selama dua jam atau sejak pukul 14.00 sampai 16.00 WIB. Beruntung tidak ada korban harta benda yang berarti," katanya.

Ia mengimbau agar warga yang tinggal di daerah rawan banjir semakin waspada terhadap hujan yang turun dengan intensitas tinggi dalam sepekan terakhir.

"Kami imbau dan minta warga setempat agar waspada terhadap perubahan cuaca secara ekstrem yang terjadi. Segera berkoordinasi dengan Satlak PBA di kecamatan setempat bila terjadi sesuatu bencana," katanya. (ANT-168/K004) Antaranews.com
COPYRIGHT © 2010

Lahar Dingin Rusak Enam Rumah di Magelang


Magelang (ANTARA News) - Banjir lahar dingin yang melanda Sungai Putih, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, menyebabkan enam rumah dan dua mushala di Desa Blongkeng, Kecamatan Ngluwar, rusak parah dan ambruk ke sungai.

Kepala Desa Blongkeng Yulianto di Magelang, Jumat, mengatakan mushala di Dusun Karangasem sudah ambruk ke sungai dan tinggal menyisakan bagian teras, sedangkan mushala di Dusun Basiran dinding bangunannya sudah retak-retak.

Ia menyebutkan enam rumah yang rusak, yakni milik Muh Sukri, Mukidin, dan Ali Mardani warga Dusun Basiran, Nur Ahmad Yuni dan Suharti warga Karangasem, dan Muhasin warga Dusun Karangrejo.

Puluhan rumah lainnya juga terancam ambruk ke sungai karena lahar dingin menerjang tebing sungai sehingga longsor. Saat ini belum ada penangangan dari aparat terkait, bahkan kecamatan juga belum meninjau lokasi bencana.

Menurut Yulianto pihaknya sudah melaporkan kejadian itu ke Camat Ngluwar baik lisan maupun tertulis. Namun, dia tidak tahu kapan laporan tersebut akan ditindaklanjuti.

Seorang pemilik rumah yang rusak Mukidin mengatakan rumahnya, rumah orang tua, dan kakaknya rusak parah serta terancam ambruk ke sungai. "Kami tidak berani masuk ke dalam rumah lagi. Kami setiap malam tinggal di masjid. Sejauh ini belum ada bantuan yang kami terima," katanya.

Tokoh masyarakat Desa Blongkeng, Miftahul Huda, meminta pemerintah lebih tanggap terhadap permasalahan warganya. Menurut dia tebing sungai mulai ambrol sudah beberapa minggu lalu. Kondisinya semakin parah setelah banjir lahar besar pada Minggu (5/12) dan Rabu (8/12) sore.

Ia mengatakan, seharusnya ada sosialisasi dan penjelasan tentang penanganan tanggap bencana lahar dingin. Masyarakat harus diberi pengertian bagaimana mengantisipasi banjir lahar dingin Gunung Merapi agar tidak ada korban jiwa.

Di wilayah Desa Blongkeng, dasar Sungai Putih tergerus hingga lima meter. Akibatnya, sungai yang awalnya hanya sedalam sekitar 15 meter kini menjadi 20 meter. Lebar sungai juga bertambah karena tebing di kanan kiri sungai ambrol dan hanyut terbawa lahar.

Saat ini lebar Sungai Putih mencapai sekitar 70 meter, padahal lebar sungai yang berhulu di Gunung Merapi tersebut awalnya hanya sekitar 25 meter. Kebanyakan lahan yang ambrol ke sungai merupakan tanah pekarangan dan sawah.  (H018/K004) Antaranews.com
COPYRIGHT © 2010

Tebing Sungai Winongo Longsor Satu Rumah Roboh


Yogyakarta (ANTARA News) - Tebing Sungai Winongo yang berada di RT10/RW03 Kelurahan Bumijo, Kecamatan Jetis, longsor akibat hujan deras yang melanda Kota Yogyakarta, Jumat, sehingga satu rumah roboh dan sebuah rumah retak.

"Tebing yang longsor tersebut berada di pertemuan antara Sungai Winongo dan Sungai Buntu," kata Camat Jetis Sisruadi di Yogyakarta, Jumat.

Rumah yang roboh dan akhirnya hilang tersapu air sungai tersebut adalah milik Sundoro dan rumah yang retak adalah milik Surawan.

"Seluruh keluarga yang menempati rumah tersebut kini sudah mengungsi ke tempat tetangga yang lebih aman dan tidak ada korban jiwa dalam kejadian tersebut," kata Ketua RW 03 Kelurahan Bumijo Kecamatan Jetis Syamsul Hadi.

Ia mengatakan, tebing yang longsor sehingga menyebabkan satu rumah roboh tersebut sebenarnya sudah sering longsor, bahkan sebelum kejadian tersebut tebing telah tiga kali longsor.

"Masyarakat sudah mengusulkan agar dibangun talud di tebing tersebut untuk mengantisipasi longsor, tetapi tidak pernah disetujui pemerintah," katanya.

Selain tebing longsor, akibat hujan deras tersebut juga menyebabkan sebuah jembatan yang menghubungkan Kampung Bangunrejo Tegalrejo dan Pingit Jetis terpaksa ditutup untuk sementara waktu karena diperkirakan mengalami kerusakan.

Wali Kota Yogyakarta Herry Zudianto mengatakan, kerusakan tebing tersebut akan segera ditangani dan diperkirakan tidak menyedot terlalu banyak anggaran. Namun untuk membangun talud diperlukan anggaran yang cukup besar sehingga diperlukan bantuan dari Provinsi DIY.

"Untuk membangun talud diperlukan dana besar, sehingga harus dibantu dari provinsi," katanya yang mengatakan antisipasi banjir di Sungai Winongo tidak akan sebesar di Sungai Code karena bukan banjir lahar dingin.

(E013/I007/S026) Antaranews.com
COPYRIGHT © 2010

Subscribe via email

Enter your email address:

Delivered by FeedBurner

Followers

  © Blogger template 'The Lake' by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP