Butet Kartaredjasa Pentaskan Monolog Kucing
Yogyakarta (ANTARA News) - Seniman Butet Kartaredjasa mementaskan monolog "Kucing" di Taman Budaya Yogyakarta, Rabu malam, menampilkan lakon ringan dengan nyaris tidak ada kritik politis seperti yang biasa dibawakannya.

"Meskipun dikritik berulang kali, pemerintah tetap tidak mau berubah. `Kucing` jauh dari konotasi politis, tidak seperti hewan lain seperti cicak dan buaya yang dipersepsikan sebagai KPK melawan Polri atau tikus yang menjadi simbol untuk menyebut koruptor," katanya di Yogyakarta, Rabu.

Meskipun minim kritik `nyinyir`, bukan berarti raja monolog asal Yogyakarta tersebut tidak menyelipkan satu atau dua pernyataan yang cukup menghujam.

"Meskipun banyak dibenci orang, kucing memiliki perilaku yang jauh lebih terpuji dibandingkan koruptor, kucing tidak akan memakan jatah makanan yang bukan menjadi haknya," katanya.

Selama ini, Butet memang lekat dengan predikat tukang kritik yang cukup vokal dengan sindiran-sindiran maupun ejekan-ejekan terhadap jalannya pemerintahan. "Saya ingin mengembalikan monolog sebagai permainan seni peran yang otonom," katanya.

Selain minim kritik politik, pementasan kali ini juga dikemas dengan tata panggung yang tergolong sederhana dan tidak berformat besar seperti monolog-monolog Butet Sebelumnya. "Monolog `Kucing` karya Putu Wijaya itu sendiri bercerita tentang kehidupan rumah tangga suami istri," katanya.

Kisah tersebut adalah cerita sederhana tentang seseorang yang suatu hari, karena kesal, memukul kucing milik tetangganya, ia merasa tidak bersalah karena kucing tersebut memang mencuri lauk pauk miliknya.

Persoalan kucing tersebut kemudian menjadi sesuatu yang cukup mengganjal bagi tokoh dalam lakon yang dimainkan dalam durasi sekitar satu jam tersebut.

Ternyata persoalan kucing tersebut juga memengaruhi hubungannya dengan sang istri, juga dengan anak-anaknya, ia juga semakin terpojok karena dituntut untuk mengobati luka kucing yang ia pukul.

Karya yang sebelumnya dipentaskan di Taman Ismail Marzuki Jakarta tersebut dinaskahi oleh Agus Noor, musik digarap Djaduk Ferianto, dengan sutradara Whani Dharmawan.(*) Sumber
(ANT-158/B/M008/R009)