Gabung dan hasilkan uang dengan memasang iklan di kumpulblogger.com
Share |

Saturday, August 21, 2010

Message Technology, masyarakat Djawa tempo doeloe

Sebelum ditemukannya layanan SMS (Short Message Service), ternyata masyarakat Jawa, telah memiliki teknologi tersendiri, untuk menyampaikan pesan…
Hal ini terlihat pada kebiasaan masyarakat di Jawa. Di saat menjelang bulan Ramadan, mereka biasanya saling mengirimkan makanan satu sama lainnya, di antara tetangga, kerabat, dan handai taulan.
Nah, biasanya yang dikirim itu menu makanan berbagai jenis sesuai dengan keumuman di lingkungan masing-masing. Tapi, pasti ada 
tiga jenis menu makanan yang selalu ada dalam tradisi religi di Jawa, yaitu ketan (makanan dari beras ketan), kolak (makanan yang terdiri dari berbagai jenis isi; bisa pisang, ketela, dll yang dimasak dengan santan dan gula aren atau gula merah hingga manis), dan apem (kue yang berasal dari tepung beras, berwarna-warni, dan biasanya juga dalam berbagai bentuk; rasanya manis).
Kalau tidak jeli, biasanya sebagian masyarakat menganggap tradisi ini adalah peninggalan nenek moyang atau leluhurnya orang Jawa. Padahal, sebenarnya ini tradisi religi yang memiliki makna sangat mendalam. Mau tahu apa maknanya?
Ketan sebenarnya bermakna khatam atau tamat alias penghabisan. Ini merupakan penggambaran terhadap umat terakhir, yaitu umatnya Nabi Muhammad SAW.
Kolak punya arti qala yang berarti berucap atau berkata.
Apem sebenarnya punya arti afwan atau maaf atau kerennya minta ampun.
Jadi, kalau diruntutkan satu sama lain ada satu pesan yang mau disampaikan dalam tradisi religi menjelang Ramadan di lingkungan masyarakat Jawa. Pesannya secara lebih detail bisa digambarkan seperti ‘Wahai pengikut Nabi Terakhir, umat yang penghabisan…! Perbanyaklah berucap memohon ampunan kepada Allah SWT. Lebih-lebih di bulan Ramadan, bulan yang penuh berkah ini.
Benar-benar indah kan pesannya?
Nah, tradisi ini sebenarnya dilandasi oleh firman Allah SWT dalam QS An Nisa ayat 106,
Dan mohonkanlah ampunan kepada Allah. Sungguh Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.

Unsur Islam di dalam tradisi lokal itu sebenarnya bentuk kreativitas dari para pendakwah dan penyebar agama Islam di Tanah Jawa. Ada yang pro dan kontra dengan cara-cara seperti ini. Yang setuju menganggap ini adalah bentuk penghormatan pada tradisi lokal. Sedangkan yang tidak setuju menganggap unsur tradisi lokal bisa merusak kemurnian ajaran Islam.
Lepas dari sikap pro dan kontra itu, kita mesti selalu ingat bahwa kita tidak boleh berlebih-lebihan dalam memandang tradisi dan budaya, hingga seolah-olah setara dengan ibadah yang diwajibkan oleh Allah.
Aturan ini bisa kita lihat dalam QS Lukman ayat 21,
Dan apabila dikatakan kepada mereka, ‘Ikutilah apa yang diturunkan Allah!’ Mereka menjawab, ‘(Tidak), tetapi kami (hanya) mengikuti kebiasaan yang kami dapati dari nenek moyang kami.’ Apakah mereka (akan mengikuti nenek moyang mereka) walaupun sebenernya setan menyeru mereka ke dalam azab api yang menyala-nyala (neraka)?
Jadi, kita tetap boleh kok menghormati tradisi lokal. Yang penting semua itu tidak bertentangan dengan aturan-aturan di dalam Islam. Sumber

0 komentar:

Subscribe via email

Enter your email address:

Delivered by FeedBurner

Followers

Leave a Message In Here

Book Store


Masukkan Code ini K1-7Y291Y-B
untuk berbelanja di KutuKutuBuku.com

Archives

  © Blogger template 'The Lake' by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP